Perjalanan Kubur
Sutardji
Calzoum Bachri
Luka ngucap dalam badan
Kau telah membawaku ke
atas bukit ke atas karang ke atas gunung
Ke bintang-bintang
Lalat-lalat menggali
perigi dalam dagingku
Untuk kuburmu alina
Untuk kuburmu alina
Aku menggaligali dalam
diri
Raja darah dalam darah
mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam
Menyeka matari membujuk
bulan
Teguk tangismu alina
Sungai pergi ke laut
membawa kubur-kubur
Laut pergi ke laut
membawa kubur-kubur
Awan pergi ke hujan
membawa kubur-kubur
Hujan pergi ke akar ke
pohon ke bunga-bunga
Membawa kuburmu alina
Sajak Hidup dalam Kematian
Puisi selalu
saja multi interpretasi. Di dalamnya selalu terdapat berbagai lapisan tafsir
yang akan terkuak dan memperkaya puisi itu sendiri. Penyair mungkin saja dianggap
sudah mati ketika puisi telah memasuki ruang publik. Tapi ketika puisi tidak
mampu ditangkap oleh pembaca dengan berbagai pendekatan tafsir yang
dimilikinya, justru pembacalah yang mati, atau paling tidak mati suri. Jika
teori-teori mandul dalam menafsirkan puisi, saat itulah penyair harus
memberikan kunci untuk memasuki pintu-pintu puisinya. Karena sejatinya puisi
tidak dibentuk dari teori-teori, tapi justru teori-teori terbentuk dari puisi.
Memasuki puisi
Sutardji Calzoum Bachri, kita akan dibawa pada imaji yang sakral dan magis.
Perjalanan Kubur, mungkin adalah judul yang sangat mistis. Tapi untuk menafsiri
judul saja banyak yang terjebak pada teknik normatif, bahwa kata-kata adalah
alat untuk menyampaikan pengertian. Dan akan muncul berbagai imaji yang
normatif pula: kuburan, usungan keranda, kematian, tanah merah, karangan bunga,
tangisan kesedihan, dan sebagainya.
Dalam kredo
puisi Sutardji, kata-kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian.
Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Perjalanan Kubur bukan sekedar
rangkaian kata perjalanan dan kata kubur yang dijadikan alat untuk menyampaikan
pengertian normatif: “kematian”. Perjalanan Kubur adalah pengertian itu
sendiri. sebuah pengertian tentang kehidupan yang panjang, sebuah proses keseharian
kita selama hayat dikandung badan.
Sebagai sebuah
pengertian, Perjalanan Kubur adalah sebuah perjalanan yang dimulai dari
kelahiran segala sesuatu yang bernyawa. Sebuah proses kehidupan dengan siklus
yang dilupakan orang-orang, bahwa setiap detik kehidupan adalah perjalanan
menuju kubur. Bayi-bayi lahir dengan tangisan sebagai perjalanan pertamanya.
Sejak itulah ia mulai masuk antrian menuju kubur. Dalam setiap detiknya sel-sel
tubuh daging manusia perlahan-lahan menemui kematian. Dan yang tersisa harus melewati
detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun demi tahun untuk terus berjalan
melalui berbagai siklus kehidupan menuju kematian.
Dan siklus
kehidupan itu bahkan didedahkan dengan apik pada bait terakhir puisi Perjalanan
Kubur.
Sutardji
Calzoum Bachri
Perjalanan
Kubur
luka
ngucap dalam badan/ kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas
gunung/ ke bintang-bintang/ lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/ untuk
kuburmu alina//
untuk
kuburmu alina/ aku menggali-gali dalam diri/ raja dalam darah mengaliri
sungai-sungai mengibarkan bendera hitam/ menyeka matari membujuk bulan/ teguk
tangismu alina//
sungai
pergi ke laut membawa kubur-kubur/ laut pergi ke awan membawa kubur-kubur/ awan
pergi ke hujan membawa kubur-kubur/ hujan pergi ke akar ke pohon ke
bunga-bunga/ membawa kuburmu alina//.
Pada bait-bait
inilah yang disebut Sutardji Calzoum Bachri dalam kredo puisinya, bahwa sebagai
penyair ia hanya menjaga kata-kata –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya-
agar kehadirannya bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri (bukan alat
menyampaikan pengertian).
Dua bait
pertama adalah kata-kata yang dipenuhi kebebasan untuk membentuk pengertian.
Bagaimana Perjalanan Kubur, dengan kebebasannya menjadi aku-lirik yang tak
hanya bisa hidup, tapi bisa terluka, berbicara, dan bahkan menjadikan si
pembaca puisi sebagai kau-lirik, atau lawan bicara Pejalanan Kubur. Lebih dalam
lagi pada bait ke dua, bagaimana Perjalanan Kubur menggali-gali lorong
kehidupannya. Dan menemukan jalan yang telah dan akan ditempuh kau-lirik, yaitu
si pembaca puisi itu sendiri.
/luka ngucap dalam badan/ dapat diartikan bahwa terdapat luka dalam kehidupan yang dijadikan
aku-lirik sebagai pelajaran kehidupan, / kau telah membawaku ke atas
bukit ke atas karang ke atas gunung/ kemudian, dilanjutkan dengan
perjalan aku-lirik dengan bantuan luka ataupun pengalaman aku-lirik yang
disampaikan penulis dengan menggunakan /kau/ sehingga
aku-lirik berada disuatu posisi atau keadaan yang tinggi atau menyenangkan,
kemudian pada larik selanjutnya terdapat kata /keatas bintang-bintang/, yang menunjukkan bahwa bantuan pengalaman tersebut membawa aku-lirik
keposisi yang tinggi melebihi apa yang ia inginkan, /lalat-lalat
menggali perigi dalam dagingku/ untuk kuburmu alina/, disambung
dengan majas tersebut, penulis mengibaratkan iblis atau setan pengganggu
manusia sebagai lalat yang mengganggu kehidupannya, bisa diartikan iblis itu
ingin membuat aku-lirik menjadi sombong akan apa yang sudah diraihnya, agar
dikubur atau diakhirat nanti, aku-lirik dapat menemani si iblis tersebut.
/untuk kuburmu alina/ aku
menggali-gali dalam diri/ raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan
bendera hitam/ menyeka matari membujuk bulan/ teguk tangismu alina//, berbeda pada bait kedua ini, penyair mengambarkan hidupnya dengan
mencari jati-dirinya sendiri, semakin dalam dan semakin dalam mencari apa
maksud hidupnya, sampai ia menemukan apa yang telah ia lakukan dan apa yang
akan ia lakukan.
Pada bait ketiga ini, penyair menekankan
bahwa semuanya mempunyai akhir ini digambarakan pada liriknya, /sungai
pergi ke laut membawa kubur-kubur/ laut pergi ke awan membawa kubur-kubur/ awan
pergi ke hujan membawa kubur-kubur/ hujan pergi ke akar ke pohon ke
bunga-bunga/ membawa kuburmu alina// menceritakan bahwa kehidupan
seperti siklus air, sungai adalah anugrah Tuhan yang mengalir dan berujung pada
suatu pusat yaitu laut, dan laut adalah akhir dari aliran sungai, yang berarti
sungai itu tidak kekal, namun kemudian, air laut itu menguap hingga menjadi
awan, laut itu tak kekal, dan berakhir di awan, dilanjutkan dengan awan yang
menjadikan hujan, itu berarti awan tak kekal, hingga berakhir menjadi hujan,
hingga pada akhirnya hujan itu turun kembali berbentuk air dan air itu diserap
oleh tumbuhan, ini bisa diartikan sebagai kehiduapan manusia yang seperti siklus air, manusia
adalah anugrah Tuhan yang akan memiliki akhir, penyair mengamanatkan manusia
agar ia bisa berguna untuk dirinya sendiri diakhir kehidupannya nanti, seperti
hujan yang pada akhirnya dapat berguna bagi tumbuhan.
Ringkasnya,
melalui puisi Perjalanan Kubur, Sutardji Calzoum Bachri mendedahkan tentang
bagaimana kehidupan tak henti-hentinya memberi peringatan kepada si pelaku
hidup.
Tapi Sutardji
tetaplah Calzoum Bachri. Kredo puisi juga mengandung banyak interpretasi yang
harus terus diselami dan diseriusi. Dan salah satunya adalah melalui pendekatan
intuitif, atau dalam istilah Acep Zamzam Noor, pendekatan bulu kuduk.
Mungkin saja
sebagian orang bulu kuduknya berdiri saat seseorang membaca sajak Perjalanan
Kubur dengan ekspresi kematian, ekspresi duka atas kematian alina sebagai
sahabat atau kekasih yang dicintainya. Mungkin juga sebagian lain bulu kuduknya
berdiri karena menyadari bahwa alina adalah si pejalan kubur, alina yang tak
lain adalah diri si pembaca sendiri.
Luar biasa
ReplyDeletePemaknaan yang sungguh dalam
ReplyDelete