Thursday, 6 March 2014

Resensi Hujan Kepagian


Revolusi Kemerdekaan Tahun Kemarin
Description: BdWmkCyCMAAAni8.jpgDescription: BdWmkCyCMAAAni8.jpg
Judul                        : Hujan Kepagian
Pengarang                : Nugroho Notosusanto
Penerbit                    : Balai Pustaka, Jakarta
Edisi Penerbitan       : Cetakan ke-IV
Tahun                       : 1983
Tebal Buku               : 72 halaman

Nugroho Notosusanto, pria kelahiran Rembang 15 Juni 1931 yang juga merupakan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 1983 adalah salah satu mahasiswa lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1960. Selesai menyelesaikan studinya di UI, Beliau memperdalam pengetahuan di bidang Metode Sejarah dan Filsafat Sejarah pada University of London selama setahun (1961-1962). Beliau mencapai gelar Doktor dalam ilmu-ilmu Sastra (bidang Sejarah) Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 1977. Banayak karya tulisnya yang berupa buku, brosur, maupun artikel ilmiah, tidak kurang 40 judul, sedangkan yyang populer ilmiah terdapat 22 judul. Yang berbentuk fiksi : Hijau Tanahku, Hijau Bajuku, 1961; Rasa Sayange, Hujan Kepagian dan masih banyak lagi.
Buku yang berjudul Hujan Kepagian ini berisi cerita saat revolusi kemerdekaan, tidak banyak karya sastra yang menampilkan kisah-kisah di sekitar revolusi itu, yang dialami sendiri oleh Pak Nugroho. Hal itu membuat kumpulan cerpen ini sangat menarik. Perang disini tidak hanya dilihat dari sudut peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tindakan-tindakan serba heroik para pelakunya, dilihat dari isinya yang lebih manusiawi. Tak hanya itu, Pak Nugroho juga terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan itu sebagai anggota tentara pelajar.
Cerita pertamanya yang berjudul “Senyum” ini menceritakan tentang ketetapan diri untuk maju ke medan pertempuran, sekalipun orang tuanya lebih menyukai dia melanjutkan pelajaran, karena umurnya masih muda, 14 tahun, selama ia berada di medan pertempuran ia selalu ingat akan bangku sekolah. ia juga terkenang kepada ayahnya yang ditinggalkan tanpa dimintai izin. Di bukit ia bertemu dengan bocah kecil yang mengingatkannya kepada adiknya yang telah bersekolah. Pengalaman selama revolusi sangat menarik untuk di baca. Ini terbukti dengan si John temannya yang gugur dalam medan pertempuran, dimana wajahnya tersenyum, padahal biasanya mayat para pejuang yang ditemukan kebanyakan wajahnya menyeringai atau matanya terbelalak, karena kesakitan. Ini menunjukkan bahwa perjuangan tokoh John untuk membela negara ini dengan hati yang suci.
Lain halnya dengan cerita kedua yang berjudul “Konyol”. Dalam cerita tersebut Nugroho menceritakan tentang takhayul yang baik, yaitu untuk berjuang harus secara suci dan selama berjuang tidak boleh berbuat mesum, dan harus mampu menahan nafsu seksual. Barangsiapa yang tidak suci perjuangannya, ia akan mati konyol.  Takhayul itu pun telah terbukti dengan kematian konyol teman seperjuangannya. Hari terakhir di Front sebelum berangkat mengacau musuh yang diperintahkan oleh atasannya, tokoh utama Nug, menemukan teman seperjuangannya tengah berduaan dengan kekasihnya di Palang Merah dan keesokan harinya teman seperjuanganya mati jatuh ke dalam sungai sewaktu perjalanan kembali ke pangkalan.
Dalam ceritanya keempat yang berjudul “Perawan di Garis Depan” ini merupakan cerita yang sangat menarik, berbeda dengan cerita-cerita lainnya. Dalam cerita ini dikisahkan seorang perempuan yang ikut serta dalam pertempuran. Perempuan tersebut berperangai seperti laki-laki, baik pakaiannya ataupun cara pandangnya. Semua laki-laki seperjuangannya sangat segan kepadanya. Perempuan tersebut nekat ikut berjuang karena kesengsaraan hidup yang dialaminya. Diantaranya karena adiknya yang meninggal dalam perang, ibunya  yang meninggal karena dibakar, bahkan diapun kehilangan kesuciannya karena diperkosa oleh Belanda. Oleh karena itu, setiap berperang dia selalu yang paling berani.
            Enam cerita yang ditulis Pak Nugroho pada bukunya ini memiliki saling keterkaitan antara cerita satu dan cerita lainnya. Misalkan pada settingnya hampir dari ke enam cerita ini terdapat setting pada saat perang. Gaya Pak Nugroho dalam menulis cerita sangatlah memikat, karena dapat membuat pembacanya ikut masuk kedalam cerita. Konflik-konflik yang dihadirkan juga sangat menarik. Mulai dari cerita perjuangan yang disalamnya terselip juga cerita asmara dan juga keluarga. Sayangnya bahasa yang digunakan lumayan sulit untuk dipahami, karena didalamnya banyak terdapat bahasa Belanda. Bagi pembaca “pemula” hal ini cukup menyulitkan. Namun sebenarnya jika pembaca mau bersabar dan memahami dengan baik, maka tidak akan ada lagi kebingungan-kebingungan mengenai maksud cerita.
Meskipun ada beberapa bahasa yang sulit dimengerti, cerita yang disampaikan Pak Nugroho mengingatkan kita pada perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, sehingga buku ini sangat penting untuk dibaca para pelajar agar menumbuhkan rasa nasionalisme dan menghargai perjuangan para pahlawan. 

Analisis Puisi Kontemporer Sutardji Calzaum Bachri (Perjalanan Kubur)


Perjalanan Kubur
Sutardji Calzoum Bachri

Luka ngucap dalam badan
Kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
Ke bintang-bintang
Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
Untuk kuburmu alina

Untuk kuburmu alina
Aku menggaligali dalam diri
Raja darah dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam
Menyeka matari membujuk bulan
Teguk tangismu alina

Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
Laut pergi ke laut membawa kubur-kubur
Awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
Hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
Membawa kuburmu alina




Sajak Hidup dalam Kematian
Puisi selalu saja multi interpretasi. Di dalamnya selalu terdapat berbagai lapisan tafsir yang akan terkuak dan memperkaya puisi itu sendiri. Penyair mungkin saja dianggap sudah mati ketika puisi telah memasuki ruang publik. Tapi ketika puisi tidak mampu ditangkap oleh pembaca dengan berbagai pendekatan tafsir yang dimilikinya, justru pembacalah yang mati, atau paling tidak mati suri. Jika teori-teori mandul dalam menafsirkan puisi, saat itulah penyair harus memberikan kunci untuk memasuki pintu-pintu puisinya. Karena sejatinya puisi tidak dibentuk dari teori-teori, tapi justru teori-teori terbentuk dari puisi.
Memasuki puisi Sutardji Calzoum Bachri, kita akan dibawa pada imaji yang sakral dan magis. Perjalanan Kubur, mungkin adalah judul yang sangat mistis. Tapi untuk menafsiri judul saja banyak yang terjebak pada teknik normatif, bahwa kata-kata adalah alat untuk menyampaikan pengertian. Dan akan muncul berbagai imaji yang normatif pula: kuburan, usungan keranda, kematian, tanah merah, karangan bunga, tangisan kesedihan, dan sebagainya.
Dalam kredo puisi Sutardji, kata-kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Perjalanan Kubur bukan sekedar rangkaian kata perjalanan dan kata kubur yang dijadikan alat untuk menyampaikan pengertian normatif: “kematian”. Perjalanan Kubur adalah pengertian itu sendiri. sebuah pengertian tentang kehidupan yang panjang, sebuah proses keseharian kita selama hayat dikandung badan.
Sebagai sebuah pengertian, Perjalanan Kubur adalah sebuah perjalanan yang dimulai dari kelahiran segala sesuatu yang bernyawa. Sebuah proses kehidupan dengan siklus yang dilupakan orang-orang, bahwa setiap detik kehidupan adalah perjalanan menuju kubur. Bayi-bayi lahir dengan tangisan sebagai perjalanan pertamanya. Sejak itulah ia mulai masuk antrian menuju kubur. Dalam setiap detiknya sel-sel tubuh daging manusia perlahan-lahan menemui kematian. Dan yang tersisa harus melewati detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun demi tahun untuk terus berjalan melalui berbagai siklus kehidupan menuju kematian.
Dan siklus kehidupan itu bahkan didedahkan dengan apik pada bait terakhir puisi Perjalanan Kubur.
Sutardji Calzoum Bachri
Perjalanan Kubur
luka ngucap dalam badan/ kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung/ ke bintang-bintang/ lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/ untuk kuburmu alina//
untuk kuburmu alina/ aku menggali-gali dalam diri/ raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam/ menyeka matari membujuk bulan/ teguk tangismu alina//
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur/ laut pergi ke awan membawa kubur-kubur/ awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur/ hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga/ membawa kuburmu alina//.
Pada bait-bait inilah yang disebut Sutardji Calzoum Bachri dalam kredo puisinya, bahwa sebagai penyair ia hanya menjaga kata-kata –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya- agar kehadirannya bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri (bukan alat menyampaikan pengertian).
Dua bait pertama adalah kata-kata yang dipenuhi kebebasan untuk membentuk pengertian. Bagaimana Perjalanan Kubur, dengan kebebasannya menjadi aku-lirik yang tak hanya bisa hidup, tapi bisa terluka, berbicara, dan bahkan menjadikan si pembaca puisi sebagai kau-lirik, atau lawan bicara Pejalanan Kubur. Lebih dalam lagi pada bait ke dua, bagaimana Perjalanan Kubur menggali-gali lorong kehidupannya. Dan menemukan jalan yang telah dan akan ditempuh kau-lirik, yaitu si pembaca puisi itu sendiri.
/luka ngucap dalam badan/ dapat diartikan bahwa terdapat luka dalam kehidupan yang dijadikan aku-lirik sebagai pelajaran kehidupan, / kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung/ kemudian, dilanjutkan dengan perjalan aku-lirik dengan bantuan luka ataupun pengalaman aku-lirik yang disampaikan penulis dengan menggunakan /kau/ sehingga aku-lirik berada disuatu posisi atau keadaan yang tinggi atau menyenangkan, kemudian pada larik selanjutnya terdapat kata /keatas bintang-bintang/, yang menunjukkan bahwa bantuan pengalaman tersebut membawa aku-lirik keposisi yang tinggi melebihi apa yang ia inginkan, /lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/ untuk kuburmu alina/, disambung dengan majas tersebut, penulis mengibaratkan iblis atau setan pengganggu manusia sebagai lalat yang mengganggu kehidupannya, bisa diartikan iblis itu ingin membuat aku-lirik menjadi sombong akan apa yang sudah diraihnya, agar dikubur atau diakhirat nanti, aku-lirik dapat menemani si iblis tersebut.
 /untuk kuburmu alina/ aku menggali-gali dalam diri/ raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam/ menyeka matari membujuk bulan/ teguk tangismu alina//, berbeda pada bait kedua ini, penyair mengambarkan hidupnya dengan mencari jati-dirinya sendiri, semakin dalam dan semakin dalam mencari apa maksud hidupnya, sampai ia menemukan apa yang telah ia lakukan dan apa yang akan ia lakukan.
Pada bait ketiga ini, penyair menekankan bahwa semuanya mempunyai akhir ini digambarakan pada liriknya, /sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur/ laut pergi ke awan membawa kubur-kubur/ awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur/ hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga/ membawa kuburmu alina// menceritakan bahwa kehidupan seperti siklus air, sungai adalah anugrah Tuhan yang mengalir dan berujung pada suatu pusat yaitu laut, dan laut adalah akhir dari aliran sungai, yang berarti sungai itu tidak kekal, namun kemudian, air laut itu menguap hingga menjadi awan, laut itu tak kekal, dan berakhir di awan, dilanjutkan dengan awan yang menjadikan hujan, itu berarti awan tak kekal, hingga berakhir menjadi hujan, hingga pada akhirnya hujan itu turun kembali berbentuk air dan air itu diserap oleh tumbuhan, ini bisa diartikan sebagai kehiduapan  manusia yang seperti siklus air, manusia adalah anugrah Tuhan yang akan memiliki akhir, penyair mengamanatkan manusia agar ia bisa berguna untuk dirinya sendiri diakhir kehidupannya nanti, seperti hujan yang pada akhirnya dapat berguna bagi tumbuhan.
Ringkasnya, melalui puisi Perjalanan Kubur, Sutardji Calzoum Bachri mendedahkan tentang bagaimana kehidupan tak henti-hentinya memberi peringatan kepada si pelaku hidup.
Tapi Sutardji tetaplah Calzoum Bachri. Kredo puisi juga mengandung banyak interpretasi yang harus terus diselami dan diseriusi. Dan salah satunya adalah melalui pendekatan intuitif, atau dalam istilah Acep Zamzam Noor, pendekatan bulu kuduk.
Mungkin saja sebagian orang bulu kuduknya berdiri saat seseorang membaca sajak Perjalanan Kubur dengan ekspresi kematian, ekspresi duka atas kematian alina sebagai sahabat atau kekasih yang dicintainya. Mungkin juga sebagian lain bulu kuduknya berdiri karena menyadari bahwa alina adalah si pejalan kubur, alina yang tak lain adalah diri si pembaca sendiri.